Jujur Aja!
Korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah hal yang tidak asing bagi kita untuk melihat bagaimana keadaan dalam sosial masyarakat sedang terjadi. Terkadang, ketiga hal tersebut sangat sering didengar dan diucapkan oleh berbagai orang untuk menceritakan serta menyimpulkan sebuah kondisi pada kehidupan bermasyarakat. Tentu saja korupsi yang pertama adalah tindakan tidak terpuji bagi pihak yang melakukannya, karena dampak yang disebabkan bukan hanya untuk masa sekarang, tapi hingga masa depan nanti. Dampak untuk masa depan nanti akan membentuk juga sebuah kebiasaan masyarakat, yang di mana mencari celah untuk menciptakan sebuah keuntungan pribadi atau kelompok tertentu dan terus berulang. Seperti halnya kolusi, yang merupakan sebuah praktik melibatkan dua pihak atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dan memiliki potensi merugikan pihak lainnya, bahkan kepentingan umum itu sendiri. Kolusi sering kali dijumpai pada bidang hukum, yang di mana praktik kerja sama ini untuk mengotak-atik ketentuan hukum terhadap perilaku yang seharusnya bertentangan menjadi sejalan dengan hukum yang ada. Hal itu juga merupakan dampak dari korupsi di masa depan, selain itu juga ada bentuk nepotisme, yang merupakan praktik memberikan perlakuan khusus atau hak istimewa kepada keluarga maupun kerabat dekat pada perekrutan, pengangkatan, atau kesempatan perihal akses pekerjaan maupun urusan dalam pemerintahan. Nepotisme juga bentuk pelanggaran etika dan integritas seseorang yang dapat merusak kepercayaan orang lain, masyarakat, bahkan pemerintah maupun organisasi yang terlibat dalam praktik tersebut. Ketiga hal tersebut merupakan rentetan dari keinginan seseorang atau pihak yang memiliki kepentingan sendiri lebih kuat dari kepentingan umum. Tentunya, hal tersebut akan berdampak kepada hal-hal lain seperti bagaimana kebijakan yang harusnya menguntungkan kepentingan umum, menjadi salah sasaran dan tidak efektif implementasinya. Pada akhirnya, masyarakat luaslah yang merasakan dampaknya dari kebijakan yang semestinya mensejahterakan, menjadi menyengsarakan.
Bisa diingat kembali tentang kasus e-KTP yang melibatkan ketua DPR RI saat itu yaitu Setya Novanto. Kebijakan e-KTP ini merupakan digitalisasi kependudukan yang diberlakukan oleh Indonesia guna mempermudah penggunaan tanda pengenal untuk kepentingan yang lebih luas. Seperti pemanfaatan kebijakan ekonomi, kesehatan, pendidikan, bahkan jaminan sosial yang memerlukan data pribadi sebagai acuan tepat sasarannya kebijakan yang akan diperoleh masyarakat nantinya. Tentu, pemberlakuan e-KTP ini adalah revolusi teknologi dari Indonesia untuk memberikan fasilitas yang sesuai dengan perkembangan zaman, di mana era teknologi sedang berkembang dan disegerakan untuk mempraktikannya kepada masyarakat. Namun, karena adanya tindakan korupsi yang dilakukan pemangku kebijakan, nyatanya manfaat-manfaat yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat jadinya terhambat. Bahkan untuk memperoleh produk dari kebijakan tersebut masyarakat luas mengalami kesusahan hingga menyerah untuk mengurus hal yang terpenting menjadi warga negara Indonesia yaitu tanda kependudukan. Karena itu, korupsi yang terjadi pada sebuah kebijakan akan berdampak panjang, dan sulit untuk membenahinya agar segalanya dapat berjalan sesuai apa yang telah direncanakan di awal. Bentuk itu merupakan bagian dari korupsi politik, yang praktiknya adalah melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi politik yang dimiliki seseorang atau kelompok untuk keuntungan sendiri, dan tentunya melanggar hukum serta etika. Bentuk korupsi politik seringkali terjadi di berbagai level, dari pejabat pemerintahan daerah hingga pejabat pemerintahan pusat. Seperti halnya kasus e-KTP ini, yang melibatkan pejabat pemerintahan pusat seperti ketua DPR RI.
Selain kasus e-KTP yang melibatkan pemerintahan pusat, dalam praktik kebijakan pemerintahan daerah juga terjadi baru-baru ini. Pada akhir tahun 2022 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simandjuntak sebagai tersangka kasus dugaan suap alokasi dana hibah dalam APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2023. Hal tersebut terjadi karena adanya aduan masyarakat terkait informasi penyerahan uang kepada anggota DPRD. Apabila ditelisik lebih dalam, dana hibah adalah bentuk bantuan keuangan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya tanpa memerlukan pengembalian atau jaminan tertentu. Tujuan dana hibah adalah untuk mendukung progam atau kegiatan pada bidang sosial, pendidikan, kesehatan, lingkungan, atau kegiatan usaha kecil dan menengah. Dari tujuan itu, tentunya dana hibah adalah bentuk bantuan yang memiliki potensi berdampak kepada masyarakat dengan jangkauan manfaat lebih luas. Namun, dalam kasus itu, pejabat pemerintahan daerah memiliki potensi dugaan mengalokasikan tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna. Terlebih lagi untuk keuntungan pribadi maupun kelompok.
Perilaku tersebut sangat mencederai kebermanfaatan masyarakat luas yang seharusnya layak mendapatkan bantuan atau manfaat dari kebijakan dana hibah. Karena itulah, kejujuran serta komitmen terhadap kepentingan umum harus senantiasa dijaga dengan baik. Karena apabila kita bukanlah seseorang yang jujur, di masa depan nanti banyak dampak-dampak buruk yang lahir dari ketidak jujuran seseorang. Contohnya saat ini, masih adanya kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, jaminan kesehatan terhambat, dan keadaan jaminan sosial dalam kehidupan juga masih terrganganggu. "Jujur Aja!", adalah dua kata yang tepat untuk menatap keadaan kehidupan masyarakat saat ini, di samping derasnya arus teknologi informasi yang mampu merubah pemahaman secara cepat, tentunya kejujuran harus diletakan pada pondasi berfikir pertama. Tujuannya, untuk meningkatkan kualitas integritas, serta membangun karakter bangsa yang maju dan dapat dipercaya oleh kepentingan umum. Kejujuran adalah sarat pemberantasan korupsi, bukan hanya jargon, tapi harus diyakini bahwa kejujuran adalah kemaslahatan kepentingan yang lebih luas dari pada diri sendiri. Terlebih lagi, manusia ditakdirkan hidup seharusnya benar-benar bermanfaat bagi yang lainnya.